Berbicara mengenai kurban, sudah umum terdengar di telinga teman-teman, bukan? Cerita mengenai kurban tidak lepas dari kisah Nabi Ibrahim AS. dan kisah Nabi Ismail AS. Kisah qurban diawali dengan hari Tarwiyah yaitu bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah, lalu dilanjutkan kisah pada hari Arafah yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Puncaknya adalah pada hari Idul Adha yaitu tanggal 10 Dzulhijjah dan dianjutkan pada hari Tasyrik yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah putra Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dari Siti Hajar. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Siti Hajar adalah budak berkulit hitam sebagai hadiah dari Raja Mesir. Namun riwayat dari Allamah Al-Manshurfuri menyatakan verifikasi bahwa Siti Hajar adalah wanita merdeka anak dari Fir’aun (Rahmatun lil ‘Alamin, II/36-37 dalam Sirah Nabawiyah penerbit Ummul Qura cetakan ke-21 tahun 2019, halaman 44).
Alkisah, pada suatu malam Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bermimpi menyembelih Nabi Ismail ‘alaihis salam. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa usia Nabi Ismail kala itu adalah 7 tahun, ada pula yang mengatakan 13 tahun. Mimpi yangg dialami Nabi Ibrahim terjadi sebanyak 3 kali. Hal ini menimbulkan beliau berpikir dan merenungi tentang mimpi beliau. Peristiwa perenungan Nabi Ibrahim dikenal dengan hari Tarwiyah yaitu yang berasal dari kata rawwa, yurawwi, tarwiyatan yang terjadi pada tanggal 8 Dzulhijjah. Pada peristiwa ini Nabi Ibrahim ragu apakah mimpi itu perintah Allah atau dari Setan.
Mimpi pun terus berlanjut pada hari ke-9 yaitu dikenal dengan hari Arafah. Arafah berasal dari kata ‘arafa yang berarti mengetahui. Beliau, Nabi Ibrahim mendapatkan takwil mimpi bahwa yakin jika mimpi itu berasal dari Allah. Sampai di malam ke-10 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi lagi menyembelih Nabi Ismail sehingga keyakinan beliau semakin mantap. Jadi, 3 kali mimpi Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail terjadi secara berurutan dari malam ke-8, ke-9, dan ke-10 bulan Dzulhijjah. Akhirnya beliau melakukan diskusi dengan Nabi Ismail terkait mimpi tersebut. Diskusi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail diabadikan dalam Q.S. As-Safat ayat 102 yaitu
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya. Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu’”
Mendengar perkataan Ayahnya, Nabi Ismail mantap dengan tenang menjawab
قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya : “Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’”.
Dari kisah ini, betapa teman-teman bisa melihat bagaimana Nabi Ibrahim sangat mematuhi perintah Allah, bahkan bisa dikatakan rasa cinta beliau kepada Nabi Ismail yang menjadi putra tersayangnya yang telah dinanti-nantikan selama bertahun-tahun harus rela disembelih atas perintah Allah. Cinta kepada Allah telah mengalahkan segalanya. Begitu pula Nabi Ismail yang sangat patuh kepada perintah Allah. Cerita ini benar-benar menusuk hati yang terdalam. Kalau sudah menjadikan Allah sebagai cinta paling utama, segalanya yang berurusan dengan makhluk akan sirna. Bagaimana dengan kita, teman-teman? Jawabannya silakan tanyakan pada hati kita masing-masing. Apa bentuk manifestasi kita sebagai hamba Allah. Memang kita tidak bisa melampaui keimanan para Ambiya’, tapi setidaknya kita bisa melatihnya walau hanya hal paling kecil.
Pada akhirnya rasa saling ikhlas menyelimuti beliau berdua. Teladan yang sangat indah dari para Nabiyullah.
Hingga pada akhirnya di hari Nahr yaitu 10 Dzulhijjah, dilakukan penyembelihan Nabi Ismail di Mina. Sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah, datanglang setan menggoda keimanan beliau. Setan berkata “Ibrahim, kata orang nanti kamu orang tua macam apa. Tega sekali, anak sendiri kok disembelih”. Nabi Ibrahim yang sudah sangat bertekad ingin melaksanakan perintah Allah pun mengambil batu seraya mengucapkan, “Bismillahi, Allahu Akbar.” Hal ini pun menjadi tradisi para jamaah haji yang dikenal dengan istilah lempar jumrah.
Memanglah bisa dikatakan ujian tersebut sangat berat apalagi beliau Nabi Ibrahim yang benar-benar telah menunggu dikaruniai putra selama bertahun-tahun. Jika manusia biasa mungkin akan tetap mempertahankan anaknya, tapi memang demikianlah keimanan para Nabi di atas keimanan para manusia biasa.
Proses penyembelihan pun berlangsung, Nabi Ismail dibawa Nabi Ibrahim ke Mina lalu dibaringkan. Dengan penuh keikhlasan, Nabi Ismail berkata kepada Nabi Ibrahim di saat kesedihan menyelimuti. Perkataan beliau diabadikan oleh Syekh Ath-Thanthawi dalam Tafsir Al Wasith cetakan Darul Fikri Beirut tahun 2005 halaman 3582 yang artinya: “Wahai Ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak bisa bergerak. Singsingkan bajumu agar tidak kotor oleh darahku, dan (jika nanti) ibu melihat adanya bercak darah, niscaya akan sedih karenanya. Percepatkanlah gerakan pisau dari leherku agar aku merasa agak ringan karena kematian sungguh sangat dahsyat. Sampaikan salam (kasih) ku apabila engkau telah kembali.” Mendengar perkataan putranya tersebut, Nabi Ibrahim berlinangan air mata dan muncul perasaan sedih. Beliau menjawab, “Sungguh, sebaik-baiknya pertolongan dalam menjalankan perintah Allah adalah engkau wahai anakku.” (Imam Fakhrudin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib juz XXVI halaman 138 cetakan Darul Kutub, Beirut).
Perbincangan beliau berdua pun menimbulkan isak tangis yang tidak bisa ditahan. Meski begitu, rasa sayang Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail tetaplah kalah dengan kepatuhan Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Beliau benar-benar harus merelakan putranya sebagai kurban. Begitu pula, Nabi Ismail juga patuh dengan perintah Allah dan mengesampingkan rasa beliau yang masih ingin bersama dengan ayah dan ibunya.
Dengan penuh linangan air mata dan kasih sayang, Nabi Ibrahim mencium Nabi Ismail untuk terakhir kalinya. Kemudian, beliau mengambil sebilah pisau untuk menyembelih. Akhirnya, beliau menempatkan pisau yang tajam di atas leher Nabi Ismail. Dugaan akan langsung tersembelih, tetapi keajaiban Allah datang tak terduga. Diulangi berkali-kali pun hasilnya tetap sama, tak ada goresan yang membekas. Sesaat pun, Nabi Ismail berkata kepada ayahnya
“Wahai ayahku! Palingkan wajahku sampai engkau tak melihatnya! Sungguh, apabila engkau melihat wajahku, akan ada rasa iba dalam dirimu. Perasaan iba itulah yang membuat dihalanginya kita dari melaksanakan perintah Allah. Apalagi, terlihat di depan mataku ada pisau mengkilat yang sangat tajam, tentunya aku jadi merasa ketakutan”, (Syekh Abu Ishaq bin Ibrahim Ats-Tsa’labi dalam tafsirnya cetakan Darul Ihya’, Beirut tahun 2002, halaman 1901).
Sosok Nabi Ismail, putranya berperan sangat besar dalam melaksanakan perintah Allah apalagi perintah yang sangat tidak logis. Mendengar ucapan putranya, Nabi Ibrahim menuruti permintaan putranya. Namun, tetap saja pisau tidak berhasil melukai leher Nabi Ismail. Pada akhirnya, Allah menurunkan firman-Nya dan diabadikan dalam Alquran surat As-Saffat ayat 104-108 yang artinya:
“Lalu, kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini adalah benar-benar ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” (Q.S. A-Saffat:104-110).
Kisah yang sangat heroik, penuh dramatis yang dialami Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas-salam. Segala sifat manusiawi pun sirna oleh keimanan dan keyakinan yang begitu besar. Tampaklah bagaimana besarnya ketaatan dan kesabaran beliau berdua, hingga Allah mengganti Nabi Ismail dengan kambing gibas yang gemuk. Dalam tafsir Al-Qur’anul Karim, Syekh Jalaluddin Al-Mahalli menyatakan bahwa kambing gibas yang mengganti dzibhul adzim (sembelihan yang agung), adalah kambing kurban Habil yang diangkat ke langit. Dalam waktu yang sangat lama, kambing itu digembalakan di surga. (mjb)
Leave A Comment