Masjid Pathok Negoro Dongkelan merupakan salah satu dari empat masjid Pathok Negoro yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I sekitar tahun 1775. Selain Dongkelan, terdapat tiga masjid Pathok Negoro lainnya, yakni di Plosokuning, Babadan, dan Mlangi. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga memiliki peran strategis sebagai benteng pertahanan, pusat pendidikan agama, dan simbol spiritual masyarakat Yogyakarta.

 

Asal-Usul dan Pendirian

Masjid Pathok Negoro Dongkelan didirikan sebagai salah satu masjid strategis yang berfungsi sebagai penanda batas wilayah Kesultanan Yogyakarta. Konsep Pathok Negoro sendiri berasal dari filosofi bahwa masjid ini berfungsi sebagai penjaga (pathok) batas negara (negoro) secara spiritual dan fisik. 

Pendiriannya merupakan bentuk penghargaan terhadap Kyai Syihabuddin yang membantu Sultan Hamengkubuwono I dalam perjuangan melawan Raden Mas Said. Kyai Syihabuddin kemudian menjadi imam pertama di masjid ini dan dimakamkan di kompleks makam yang berada di sisi barat masjid (Wisatabudayaku UGM, 2020).

Peran Strategis pada Masa Perang Diponegoro

Masjid Pathok Negoro Dongkelan memiliki peran signifikan dalam sejarah perjuangan bangsa, terutama pada masa Perang Diponegoro (1825-1830). Pada periode tersebut, masjid ini menjadi basis pertahanan Pangeran Diponegoro melawan pasukan kolonial Belanda. Akibatnya, masjid ini pernah dibakar oleh Belanda pada tahun 1825 sehingga menyisakan umpak (batu penyangga tiang) dan mustaka (hiasan puncak atap) (Tirto, 2020).

Lalu masjid ini dibangun kembali secara sederhana oleh masyarakat sekitar. Pada tahun 1901, Sultan Hamengkubuwono VII melakukan renovasi besar dan mengembalikan masjid ke bentuk arsitektur aslinya (Tirto, 2020).

Arsitektur dan Ciri Khas

Secara arsitektural, Masjid Pathok Negoro Dongkelan mengadopsi gaya tradisional Jawa dengan atap limasan bersusun tiga yang melambangkan konsep Islam: iman, Islam, dan ihsan. Atap bersusun ini sering dijumpai pada masjid-masjid tua di Jawa sebagai simbol spiritual yang mendalam.

Ciri khas lainnya adalah adanya mustaka atau mahkota di puncak atap yang melambangkan spiritualitas dan hubungan manusia dengan Tuhan. Di bagian dalam masjid, terdapat mihrab sederhana yang mencerminkan kesederhanaan dalam menjalankan ibadah (Tirto, 2020).

 

Kompleks Makam dan Tokoh Penting

Di sekitar masjid terdapat kompleks makam yang menjadi salah satu daya tarik utama bagi para peziarah. Tokoh yang dimakamkan di sini meliputi:

  1. Kyai Syihabuddin (pendiri dan imam pertama masjid)
  2. KH. Muhammad Munawwir (pendiri Pondok Pesantren Krapyak)

Kompleks makam ini sering dikunjungi para peziarah yang ingin menghormati jasa para ulama yang berjasa dalam penyebaran Islam di Yogyakarta (Wisatabudayaku UGM, 2020).

Peran Pendidikan dan Spiritual Hingga Kini

Hingga saat ini, Masjid Pathok Negoro Dongkelan masih aktif menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini digunakan untuk kegiatan pengajian, majelis taklim, dan peringatan hari besar Islam. Fungsi masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan agama tetap terjaga dengan baik (Kementerian Agama RI, 2022).

Kesimpulan

Masjid Pathok Negoro Dongkelan bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi memiliki peran historis yang mendalam dalam perjalanan sejarah Yogyakarta. Perannya sebagai benteng pertahanan, pusat pendidikan, dan simbol spiritual menjadikan masjid ini salah satu warisan budaya yang patut dijaga. Melalui napak tilas ini, generasi muda dapat lebih memahami pentingnya peran ulama dan tempat ibadah dalam membentuk karakter bangsa yang religius dan cinta tanah air.

Daftar Pustaka

Tirto. (2020). Masjid Pathok Negoro Dongkelan: Dari Diponegoro hingga Gus Dur. Diakses dari https://tirto.id/masjid-pathok-negara-dongkelan-dari-diponegoro-hingga-gus-dur-gCjL .

Wisatabudayaku UGM. (2020). Masjid Pathok Negoro Dongkelan Yogyakarta. Diakses dari https://wisatabudayaku.sv.ugm.ac.id/2020/01/29/masjid-pathok-negoro-dongkelan-yogyakarta/.